Selasa, 25 September 2012

Menjelang Wafatnya Soekarno "The Missing Files"


Beberapa waktu lalu mantan presiden kedua kita telah meninggal dunia dengan menyisakan berbagai macam kontroversi di sekitarnya.Berbagai macam cerita dan misteri belum terungkap semasa beliau menjabat sebagai presiden RI.

yang menarik yang saya cermati dari hal ini yaitu perlakuan yg berbeda disaat presiden pertama kita Soekarno sakit dengan Suharto yang saat ini telah meninggal dunia.tidak ada maksud apa-apa saya membuat tulisan ini.saya juga bukan sukarnois atau suhartois.saya memanggap keduanya orang yang telah berjasa bagi bangsa Indonesia dengan segala bumbu-bumbunya.saya menganggap mereka sebagai seorang mantan presiden RI,no more or less.

disni saya ingin berbagi cerita yang saya dapat disaat sakitnya presiden pertama kita,Ir Soekarno.

Menjelang Wafatnya sang Proklamator

Sembilan buku besar tertumpuk rapih di salah satu ruangan di rumah Rachmawati Soekarnoputri, Jl. Jati Padang Raya No. 54 A, Pejaten, Jakarta Selatan. Buku bertuliskan tangan itu berisi medical record (catatan medis) mantan Presiden Soekarno selama sakit di Wisma Yaso, Jakarta.

Ada pula tujuh lembar kertas tua yang warnanya sudah memudar kecokelatan. Ini juga menjadi bukti riwayat penyakit Bung Karno. Kopnya bertuliskan Institut Pertanian Bogor, Fakultas Kedokteran Hewan Bagian Bakteriologi, Djl. Kartini 14, telpon 354, Bogor. Tapi yang lebih membuat dahi ini berkernyit keras, nama pasien disamarkan. Misalnya, ada yang tertera namanya Taufan (salah seorang putra Soekarno).
Menguak peristiwa yang terjadi tahun 1965-1970 itu memang tidak mudah. Pada masa lalu
membicarakan masalah ini secara terbuka menjadi hal tabu. Maka tak heran jika sekarang
banyak orang, terutama generasi muda, tak mengetahui kebenaran sejarah tersebut. Namun kini, ketika semua mata dan seluruh perhatian tertumpah di Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP) sehubungan dengan sakitnya mantan Presiden Soeharto sejak 4 Januari 2008, rasa ingin tahu tentang masa lalu pun kembali mengusik. Itu semata-mata karena Soeharto dan Soekarno sama-sama mantan kepala negara. Adalah Rachmawati Soekarnoputri, putri ketiga Soekarno, yang sangat ingin menyerahkan catatan medis ayahnya kepada pemerintah. "Ini kalau pemerintah butuh data-data pendukung dan ingin melihat dari segi kebenaran, bukan hanya cerita fiktif," tutur Rachmawati kepada SH di kediamannya, Sabtu (19/1) sore. Maklum, seorang mantan menteri Orde Baru pernah berkomentar bahwa perlakuan terhadap Soekarno ketika sakit tidak sekejam itu. "Saya tak mau gegabah.
Ini bukan make up story, karena Kartono Mohamad saja (saat itu Ketua Ikatan Dokter Indonesia/IDI-red), mengatakan perawatan terhadap Bung Karno seperti perawatan terhadap keluarga sangat miskin," kata Rachmawati.
Di sore hari itu, Rachmawati tidak sanggup bercerita banyak. Ia hanya tersedu sedan, hal itu
sudah menggambarkan betapa getir kenangan yang dialaminya. Tetapi sebuah artikel yang pernah
dimuat SH pada 15 Mei 2006, memberikan gambaran lebih lengkap. "Seorang perempuan muncul di
Kantor IDI di Jakarta, awal 1990-an," demikian kalimat pertama artikel tersebut. Perempuan itu ingin bertemu Kartono Mohamad untuk menyerahkan 10 bundel buku berisi catatan para perawat jaga Soekarno. Namun jauh sebelum pertemuan itu, Kartono bertemu Wu Jie Ping, dokter yang pernah merawat Soekarno di Hong Kong. Wu mengungkapkan bahwa Soekarno "hanya" mengalami stroke ringan akibat penyempitan sesaat di pembuluh darah otak saat diberitakan sakit pada awal Agustus 1965, dan sama sekali tidak mengalami koma seperti isu yang beredar. Ini menepis spekulasi bahwa Soekarno tidak akan mampu menyampaikan pidato kenegaraan pada peringatan hari proklamasi 17 Agustus 1965. Dan nyatanya, Soekarno tetap hadir pada peringatan detik-detik proklamasi 17 Agustus itu di Istana Merdeka, lengkap dengan tongkat komandonya.

Diperiksa Dokter Hewan

Setelah kembali lagi ke Jakarta, Kartono menemui Mahar Mardjono, dokter yang tahu banyak soal stroke.
Rupanya Kartono tak hanya bercerita soal stroke, tapi juga rentetan kejadian yang dengan sengaja menelantarkan Soekarno. Maka bundel buku yang dibawa perempuan itu semakin menguatkan kegelisahan Kartono.
Namun Indonesia di awal 1990-an, kebenaran hanya boleh ditentukan oleh penguasa. Maka bundel buku itu hanya teronggok di meja kerja Kartono selama bertahun-tahun. Hingga kemudian, krisis moneter meledak.
Rakyat turun ke jalan dan Presiden Soeharto, yang telah berkuasa selama 32 tahun, dipaksa meletakkan jabatan. Indonesia berubah wajah. Kartono pun teringat onggokan buku itu.
Ia bergegas ke RSPAD, rumah sakit yang mempekerjakan empat perawat di Wisma Yaso.
Kartono berharap dapat menemukan mereka, agar bangsa Indonesia mendapat cerita yang lengkap
tentang tahun-tahun terakhir Soekarno. Namun menemukan Dinah, Dasih, J. Sumiati, dan Masnetty ternyata bukan hal mudah. Seorang di antara mereka meninggal, sedangkan yang lain sudah pensiun.
RSPAD pun mendadak tak memiliki file atau berkas dari para perawat ini.
Kartono kehilangan jejak. Upayanya untuk mencari medical record Soekarno gagal. Pihak RSPAD
mengatakan bahwa keluarga Soekarno telah membawanya. Ketika ini ditanyakan kepada
Rachmawati, ia hanya geleng-geleng kepala. "Tidak, tidak," jawabnya lirih.
Yang membuatnya semakin terenyuh, sebelum dibawa ke Jakarta, Soekarno ditangani oleh dokter
Soerojo yang seorang dokter hewan. Jejak ini terlihat dari berkas berkop Institut Pertanian Bogor, Fakultas Kedokteran Hewan Bagian Bakteriologi.
Bahkan setelah dipindah ke RSPAD karena sakit ginjalnya semakin parah, upaya untuk melakukan cuci darah tidak dapat dilakukan dengan alasan RSPAD tidak mempunyai peralatan. Catatan medis juga menyebutkan obat yang diberikan hanya vitamin (B12, B kompleks, royal jelly) dan Duvadillan, obat untuk mengurangi penyempitan pembuluh darah perifer. Perihal tekanan darah tinggi yang juga disebutkan dalam catatan medis, juga menyisakan tanya pada diri Rachmawati.
Setiap kali menjenguk sang ayah dan mencicipi makanannya, masakan selalu terasa asin. "Saya kecewa dengan semua perawatan itu. Ini sama saja dengan membiarkan orang berlalu," lanjut Rachmawati.
Seorang mantan pejabat di era Presiden Soekarno membenarkan terjadinya fakta seputar masa sakit Soekarno yang tersia-sia. "Tidak seperti sekarang ini, perawatan terhadap Soeharto. Sangat berbeda, padahal seharusnya semua mantan presiden berhak dirawat secara all out dan diongkosi oleh negara," katanya.
Purnawirawan perwira tinggi militer itu juga mengungkapkan, perlakuan seragam terhadap Soekarno berasal dari sebuah instruksi. "Yang memberi instruksi ya orang yang sekarang sedang dirawat itu," katanya.
Namun pria ini enggan dituliskan namanya. "Wah, kalau ditulis di koran saya pasti digangguin...," tuturnya dengan nada serius.



Menjelang Wafatnya sang Proklamator (2)


JAKARTA – Selembar foto hitam putih menguak penderitaan Soekarno ketika tergolek sakit di
Wisma Yaso, Jakarta, 15 hari sebelum ia wafat. Kedua pipinya terlihat bengkak, gejala fisik pasien gagal ginjal.
Matanya sedikit terbuka, tapi tanpa ekspresi. Raut wajahnya menampak kepasrahan yang begitu dalam.
Soekarno terlihat berbaring di atas sofa berukuran sempit dengan sebuah bantal.
Kedua tangannya dicoba ditangkupkan. Siapa sangka, pria gagah inilah sang proklamator yang mengantarkan
Negara Indonesia ke pintu kemerdekaan hingga detik ini.
Gambar ini dibuat secara diam-diam oleh Rachmawati Soekarnoputri bersama Guruh Soekarnoputra,
6 Juni 1970. Sebuah momentum bertepatan dengan hari ulang tahun Soekarno yang ke-69.
”Dik, ikut yuk, saya mau motret bapak,” tutur Rachmawati kepada adiknya, Guruh, kala itu.
Rupanya foto tersebut kemudian dikirimkan Rachmawati ke Kantor Berita AP dan dimuat di Harian Sinar Harapan.
Maka gemparlah, dan Rachmawati diinterogasi oleh Corps Polisi Militer
(CPM). Rachmawati pun bertanya, ”Mengapa dilarang memotret, memangnya status Bung Karno apa?”
Tetapi tak pernah ada jawaban tentang apa status Soekarno, sampai detik ini. ”Jadi semua
serbasumir. Tak ada kejelasan tentang status bapak sampai bapak meninggal,” kata Rachmawati
kepada SH di kediamannya di Jl. Jati Padang Raya No. 54A, Pejaten, Jakarta Selatan, Sabtu (19/1) sore.
Foto_terakhir_soekarno

Di saat kondisi penyakit ayahnya semakin kritis dan putra-putri ingin membesuknya, mereka
tetap harus melapor dulu ke Pomdam Jaya, sehingga tidak dapat menengok setiap hari. Wisma
Yaso yang terletak di Jl. Gatot Subroto, Jakarta, itu padahal merupakan kediaman istri
Soekarno, yakni Dewi Soekarno. Begitu pula Soekarno sendiri, dalam kondisi sakit masih tetap
harus menjalani pemeriksaan oleh Kopkamtib tiga bulan sekali.
Situasi seperti itu semakin menambah kalut keluarga Soekarno, setelah sebelumnya didera
cobaan bertubi-tubi. Pada pertengahan 1965, sebuah rumor mengabarkan Soekarno mengalami koma
sehingga diperkirakan tidak bisa menyampaikan pidato kenegaraan pada peringatan Proklamasi
17 Agustus 1965. Tetapi nyatanya, Soekarno hadir pada peringatan detik-detik proklamasi
tersebut di Istana Merdeka, lengkap dengan pakaian kebesaran dan tongkat komandonya.
Tahun berikutnya, setelah Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) diteken 11 Maret 1966, keluarga Soekarno mendapat kiriman radiogram pada tahun 1967, berupa perintah supaya mereka keluar dari Istana Bogor.
Maka kemudian di tahun 1968, Soekarno pindah dari Istana Bogor ke Batu Tulis, masih di wilayah Bogor.
Ternyata hawa dingin di Bogor membuat penyakit rematik Bung Karno semakin parah. Saat itu Soekarno ditangani oleh dokter Soerojo, dokter hewan. Bukti ini dikuatkan dengan dokumen riwayat penyakit Bung Karno di atas tujuh lembar
kertas tua yang warnanya sudah memudar kecokelatan.
Kopnya bertuliskan Institut Pertanian Bogor, Fakultas Kedokteran Hewan Bagian Bakteriologi,
Djl. Kartini 14, telpon 354, Bogor. Menurut Rachmawati, penanganan dokter Soerojo saat itu pun hanya bersifat insidental.
Lantaran rasa sakit makin tak tertahankan, akhirnya Soekarno mengutus Rachmawati untuk
menyampaikan surat permohonan kepada Soeharto agar diperbolehkan kembali ke Jakarta.
”Saya diterima Pak Harto di Cendana, menyampaikan permintaan agar bapak dipindah ke Jakarta.
Saya harus menunggu jawabannya dua minggu, aduh…,” tutur Rachmawati tak habis pikir.
Akhirnya, Soekarno dipindah ke Wisma Yaso di Jakarta, yang sekarang menjadi Museum Satria Mandala.
Beberapa minggu kemudian dibentuklah tim dokter dengan ketua Mahar Mardjono. Tetapi karena
Wisma Yaso hanya rumah biasa, tentu saja fasilitas medis yang tersedia sangat berbeda dengan
jika dirawat di rumah sakit.

Tidak Cuci Darah

Hari-hari berikutnya, kondisi Soekarno menurun drastis. Seperti yang terdokumentasi dalam
foto Rachmawati tersebut, pipi Soekarno sudah membengkak, pertanda mengalami gagal ginjal.
Kondisi makin kritis. Hingga akhirnya pada 11 Juni 1970 mantan Presiden I RI itu dilarikan
ke Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Subroto.
Rupanya pindah perawatan ke rumah sakit tidak seluruhnya menyelesaikan masalah. Perawatan
yang diberikan tetap tidak maksimal dan peralatan medis seadanya. Pada saat dokter
memastikan harus dilakukan cuci darah, upaya satu-satunya ini tidak dapat dilaksanakan.
Alasannya, RSPAD tidak memiliki peralatan untuk cuci darah. ”Ini sama saja membiarkan orang
cepat berlalu...,” tutur Rachmawati.
Begitu pula dengan obat-obatan, tidak tersedia di RSPAD sehingga putra-putri Soekarno
membelinya sendiri di apotek di Kebayoran. ”Ada satu periode di mana saya tidak boleh
menengok bapak,” ungkap Rachmawati. Dalam keadaan genting seperti itu, keluarga masih tetap
tidak diizinkan tidur di rumah sakit untuk menunggui sang ayah. Mereka hanya boleh menunggu
di dalam mobil di tempat parkir.
Tak ada pula teman-teman yang bisa menjenguknya, kecuali Mohammad Hatta. Rachmawati
mengakui, selepas tahun 1965 memang terjadi de-Soekarno-isasi. Semua hal yang berbau
Soekarno harus disingkirkan sejauh mungkin.
Hingga akhirnya pada 21 Juni 1970, Soekarno wafat. Jenazahnya kemudian disemayamkan di Wisma
Yaso dan dilepas oleh Presiden Soeharto untuk diterbangkan ke Blitar, Jawa Timur. Itulah
kali pertama Soeharto melihat fisik Soekarno setelah disingkirkan dari Istana Kepresidenan.
Yang menjadi inspektur upacara pada pemakaman itu Jenderal TNI M Panggabean, tanpa kehadiran
Foto Soekarno Saat Meninggal
Presiden Soeharto di Blitar.
Mengapa pusara mantan Presiden I RI itu berada di kompleks pemakaman Desa Bendogerit,
Blitar? Lokasi itu dipilihkan oleh negara dengan alasan dekat dengan makam kedua orangtua
Soekarno. Pihak keluarga sebenarnya mengajukan permintaan sesuai wasiat Soekarno, yaitu
dimakamkan di Batu Tulis atau di lokasi lain di Bogor.
Juga ketika gaung agar Tap MPR No. 11 Tahun 1998 tentang KKN mantan Presiden Soeharto
dikumandangkan kembali tatkala Soeharto sakit di Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP),
Rachmawati meminta dicabutnya Tap MPRS No. XXXIII/1967.
Tap MPRS itu intinya adalah mencabut mandat MPRS dari Soekarno dan mengangkat Soeharto
sebagai Pejabat Presiden. ”Secara pribadi saya berharap ada rehabilitasi. Dan Tap MPRS harus
dicabut karena beban politik berbeda dengan beban pidana atau perdata,” lanjut Rachmawati.
Putri ketiga Soekarno itu pun hanya geleng-geleng kepala, ketika mengetahui kondisi kesehatan Soeharto yang sedang dirawat di RSPP mulai membaik. Semua orang juga tahu, betapa
luar biasa dan istimewanya fasilitas untuk Soeharto.
Tetapi Rachmawati sama sekali tidak menaruh rasa dendam. Yang ia inginkan hanyalah,
kebenaran sejarah. 

0 komentar:

About Me

Image

                                        Read more: dchendras
Diberdayakan oleh Blogger.
   

Total Pageviews

 
Copyright© 2011 dc.hendras | Designer by : dchendras' |
Template Name | Uniqx Transparent : Version 2.1 | dchendras