Dari Ir.Soekarno sampai ke Presiden Soekarno
Tan Malaka (1948)
Sumber: Yayasan Cahaya Kita, Jakarta 1966
Tulisan ini adalah bagian dari otobiografi Tan Malaka "Dari Penjara ke Penjara" yang diterbitkan terpisah sebagai buku saku.
Kata Pengantar
Ada penulis bangsa Inggris yang mengatakan bahwa sejarah dunia adalah
riwayat hidupnya orang besar. Ucapan itu sudah jelas tidak benar.
Tidak benar, karena mengabaikan peran rakyat banyak di dalam
mempengaruhi jalannya perkembangan sejarah. Penulis itu
melebih-lebihkan pengaruh seseorang yang mempunyai “sifat-sifat luar
biasa” sehingga dalam mencari orang-orang yang bersifat luar biasa itu
melupakan peranan rakyat yang sesungguhnya adalah sumber dari
segala-galanya. Namun demikian tidak bisa dipungkiri pengaruh orang
orang besar pada jalannya sejarah, baik dalam artian maupun yang buruk.
Pengaruh Soekarno pada sejarah Indonesia besar sekali, tidak mungkin
orang memungkiri. Ir.Soekarno memang orang yang luar biasa. Tetapi
kenyataan itu tidak memudahkan orang yang ingin mengenal Soekarno
sebenarnya. Mana mitos, mana fakta dan kesan orang terhadap orang lain
berbeda-beda tergantung dari si peninjau. Kita kenal Soekarno di mata
Soekarno sendiri, seperti diceritakannya kepada Cindy Adams dalam auto
biografinya. Ada lagi Sokarno di mata Louis Fisher, wartawan Amerika.
Sekarang kami sajikan kepada pembaca Soekarno dalam pandangan Tan
Malaka, dalam auto biografinya dari Penjara ke Penjara yang
ditulis pada tahun 1948 telah menyoroti Ir.Soekarno sebagai pemimpin
Indonesia. Isi brosur ini diambil dari autobiografi-nya itulah.
Tan Malaka tidak asing lagi bagi pembaca. Seluruh hidupnya sesudah
masa kanak-kanak dicurahkan bagi perjuangan kemerdekaan bangsa dan
rakyat Indonesia. Empat puluh tahun yang lalu dia telah menelorkan
konsepsi yang konkrit tentang Republik Indonesia dalam bukunya yang
menyebabkan Prof.Moh.Yamin,SH mengikatkan gelar “Bapak Republik
Indonesia” kepadanya. Karena jasa-jasanya pula Tan Malaka secara
anumerta telah diangkat menjadi pahlawan nasional oleh pemerintah
Indonesia.
Jakarta, Agustus 1966
Penerbit
Dari Ir.Soekarno sampai ke Presiden Soekarno
Karena amat banyak menyinggung Pimpinan Negara Republik Indonesia
dalam masa revolusi ini. Maka saya perlu sekali mengemukakan sedikit
pandangan mengenai dirinya Presiden Soekarno. Barangkali ada baiknya
juga saya ceritakan tentang perhubungan saya dengan Presiden Soekarno.
Sah dan perubahan jiwa manusia itu umumnya, sebagai cerminan
perubahan masyarakat manusia umumnya pula, juga mengalami undang
dialektika, yakni perubahan sedikit demi sedikit, dari abad ke abad pada
suatu ketika menjadi pertukaran sifat. Dengan maju berubahnya
masyarakat sedunia, dari zaman komunisme-asli ke zaman sosialisme
modern melalui zaman perbudakan, zaman ningrat dan zaman kapitalisme,
maka maju dan berubahnya kebudayaan kejiwaan (psychology) manusia itu
dalam ratusan tahun.
Tetapi dalam dirinya seseorang (manusia) pada suatu masyarakat dalam
hidupnya seseorang itu bisa berlaku gerakan kemajuan atau gerakan
kemunduran. Seseorang dalam seumur hidupnya bisa bertukar dari
revolusioner menjadi konservatif atau anti-revolusioner atau sebaliknya
dari konservatif bertukar menjadi revolusioner. Yang menjadi pendorong
dalam pertukaran paham itu biasanya perjuangan kelas dalam masyarakat
itu. Filsafat atau pandangan hidup dan juga kemauan atau wataknya orang
itu sendiri. Seseorang juga berwatak waja dan konsekwen dan mempunyai
pandangan yang tepat tentang gerakan kelas dalam masyarakat itu,
biasanya patah atau tegak dengan pahamnya semula. Tetapi orang yang
tiada mempunyai filsafat atau pandangan hidup yang tepat dan masak
tetapi mempunyai watak dan kemauan yang mudah diombang-ambing oleh
sentimen (perasaan) serta hawa nafsu diri sendiri atau pengaruh dari
luar, biasanya kalau bertemu dengan rintangan mudah sekali bertukar
warna dan memilih keuntungan sementara untuk menyelamatkan dirinya
sendiri.
Satu dua di antara pelbagai ukuran yang biasanya kita pakai terhadap
seseorang yang terjun terhadap seseorang, sebagai pemimpin, apakah pertama
sekali ia dapat melihat ke depan dan yang kedua pakah dia cukup
mempunyai watak yang konsekwen untuk memegang pandangan ke depan itu.
Dalam prakteknya kita bertanya, apakah yang dijanjikan pemimpin itu
kepada pengikut dan rakyatnya. Kedua, apakah dia jujur dan
konsekwen melaksanakan apa yang sudah dijanjikannya itu sambil juga
memperhatikan cara dan moral yang dijungjungnya untuk menepati janjinya
itu.
Kita pertama bertanya; apa yang dijanjikan oleh Ir.Soekarno kepada rakyat Indonesia ketika dia memimpin PNI di masa “Hindia Belanda”? kedua, apakah Ir.Soekarno jujur memegang janjinya itu?
Kita semua mengetahui bahwa Ir.Soekarno menuju kepada Indonesia
merdeka atas dasar “Sosio-Nasionalisme” dan “Sosio-Demokrasi” dengan
cara MASSA AKSI serta dengan semangat yang “tak kenal damai” (bukan
serupa almarhum Dr Sutomo).
Ir Soekrano sudah menderita banyak kesengsaraan lantaran pahamnya itu
dari pihak imperialisme Belanda, dan sebaliknya pula mendapat
kehormatan, simpat dan pujian yang luar biasa dari seluruh golongan
rakyat di Indonesia.
Tetapi bagaimanakah Ir Soekarno menepati janjinya?
Dengan Jepang yang imperialistis, militeristis dan teocratis
Ir.Soekarno dari mulanya Jepang masuk sampai jatuhnya dari tahun 1942
sampai tahun 1945 dia bisa kerjasama bahkan bisa “sehidup semati” untuk
mendirikan Indonesia merdeka di kelak kemudian hari dalam lingkungan
“Asia Timur Raya” yang pastilah cocok dengan filsafat hidup Tenno Heika
dan Kenpei Jepang. Oleh karena kepercayaan dan penghargaanTenno Heika
oleh Jendral Terauchi, Panglima Tertinggi seluruh Angkatan Perang
Jepang di Asia Selatan, antara tanggal 5 dan 11 Agustus 1945 di Saigon.
Presiden Soekrano (yang walaupun atas desakan para pemuda Jakarta)
pada 17 Agustus 1945 telah memmproklamasikam kemerdekaan Indonesia dan
di masa Jepang menciptakan “Amerika kita setrika, Inggris kita linggis”
serta dengan secara sandiwara membakar potret van der Plas (Roosevelt
dan Churchill)—dengan “Naskah Linggarjati” dan “Renville principles”
menerima kembali Mahkota Raja Belanda di samping mengakui modal asing
baik yang langsung memusuhi, maupun yang tidak langsung memusuhi
Republik.
Di masa Jepang sebetulnya banyak jalan lain bagi Gico Soekarno untuk
menyingkiri ikatan halus maupun kasar yang dicoba dikenakan oleh kaki
tangan Tenno Heika kepadanya. Tak perlu dia sendiri yang menganjurkan
atau menyetujui pengerahan romusha, pengumpulan intan berlian rakyat
Indonesia serta para gadis (untuk dilatih) untuk dikirim ke Tokyo.
Tiadalah pula perlu Presiden Soekarno di masa republik ini terus
menerus menerima usul Inggris, yang sangat merugikan rakyat ialah
menghentikan pertempuran di Surabaya dan Magelang serta usul dari pihak
Belanda mengakui beberapa Negara Boneka dalam beberapa wilayah
Republik Indonesia (NIT, Borneo,dll) dan sekarang menerima dan
menjalankan usul Belanda “mengosongkan kantong” dan menarik 35.000
prajurit dari Jawa Barat dan Jawa Timur dan seterusnya menerima kembali
mahkota Belanda, N.I.S dan UNI Nederland-Indonesia, jadinya
membatalkan proklamasi 17 Agustus.
Seandainya Ir Sokerano tetap memegang pendiriannya semula dan
bersandar atas kepercayaan kepada kekuatan 70 juta rakyat dan
dinamikanya revolusi, artinya tetap memagang dasar Indonesia Merdeka
dengan “Sosio-Nasionalisme” dan “Sosio-Demokratnya” tetap pula memegang
cara Massa Aksi dengan semangat yang tiada kenal damai (juga terhadap
sembarangan imperialisme) maka dengan kerja “Illegal” di masa jepang
kemerdekaan 100 % boleh jadi sekali lebih lekas tercapainya daripada
yang disangka-sangka.
Tetapi kalau kita pelajari perbuatannya Ir Sokerno, maka kita
terpaksa mengambil kesimpulan bahwa dia tiada memusingkan analisanya
masyarakat Indonesia. tiada tampak bagi saya dalam semua pidatonya
perhatian yang dalam antara kebutuhan Belanda terhadap Indonesia. Tiada
tampak bagi saya dalam semua pidatonya perhatian terhadap pertentangan
yang antara kebutuhan Belanda terhadap Indonesia dalam arti keperluan
hidup dan tiada kelihatan pula dalam semua pidatonya itu perhatian
terhadap pokok- pendorongnya gerakan rakyat di Indonesia, ialah gerakan
murba yang tak kenal damai. Semua dipusatkan kepada grande-eloquence,
kemahiran kata, untuk mengikat perhatian dan perasaan para pendengar
semata-mata. Kurang untuk menimbulkan keyakinan juga berdasarkan
pengertian atas bukti dan perhitungan yang nyata, dan seterusnya untuk
menerbitkan kemauan seperti baja untuk melaksanakan keyakinan itu,
karena kepintaran menggunakan Bahasa Indonesia, maka dengan suara yang
bergemuruh bersipongang dan mempengaruhi para pendengar, dapatlah Bung
Karno memukau, menghipnotis sesuatu rapat rakyat murba.
Grande-eloquence beserta grande-elegance a’la
Soekarno yang banyak kecocokan pada irama jiwa Murba Indonesia, yang
tertindas, terperas, bisa digunakan oleh suatu imperialisme sebagai
Dewi Nasionalisme untuk mengebiri gerakan murba yang dipengaruhi oleh
paham komunisme, tetapi belum diobori, diorganisir dan di-disiplin oleh
ilmu komunisme. Tetapi grande-eloquence dan grand- elegance itu saja tak dapat mendidik kader murba yang bisa mempelopori gerakan dan revolusi di Indonesia.
Partai Nasional Indonesia (PNI) terdiri sebagian besarnya daripada
kaum intelektual borjuis. Mereka ini dalam hati kecilnya takut kepada
akibatnya gerakan murba, tetapi dengan pidato yang abstrak, kabur tetapi
grande, mereka bisa memberi pengharapan dan impian kepada
murba. Apabila murba yang sesungguhnya bergerak untuk mencapau
maksudnya murba yang sebenarnya, dan imperialisme Belanda, Jepang atau
Inggris mengambil tindakan keras, maka grande eloquence dapat
dipergunakan untuk menutupi, menyelimuti dan membungkus segala-gala
yang tidak konsekwen serta memalsukan semua yang konsekwen. Demikianlah
grande eloquence beserta grande elegance dapat
menyembunyikan apa yang kompromistis, menyelimuti apa yang anti Massa
Aksi, serta membungkus segala sesuatu yang hakekatnya anti kemerdekaan.
Grande elegance a’la Soekarno tak pernah konkrit,nyata ialah
tepat dan berterang-terangan melawan musuh yang nyata dan dekat.
Dijamin Belanda Nasionalisme yang mestinya anti pemerintah Hindia
Belanda itu dapat dibungkus dengan perkataan
“kapitalisme-imperialisme”. Istilah ini dapat dipergunakan sebagai
tabir asap untuk melindungi diri para pemimpin PNI terhadap
undang-undang Hindia Belanda. Bukannya partai Nasional Indonesia
langsung menentang pemerintah Hindia Belanda, melainkan
imperialisme-kapitalisme yang jauh,abstrak, yang tergantung di
awang-awang. Begitu oleh grande eloquence, istilah Massa Aksi
yang berarti “Murba Bersenjata yang Bertindak Sendiri” boleh disulap
menjadi massa aksi yang membangun kerjasama di “Hindia Belanda” dan
ber-“Kinro Hoozi di zaman Jepang dan bersama-sama “memotong keju” dan
“menyapu jalan” di revolusi ini. Di zaman Jepang Sosio-Nasionalisme yang
radikal dan agresif menjadi “Hakko Itjiu” atau “Hakko Seisin”
teristimewa juga sekarang Sosio-demokrasi dan Sosio-Nasionalisme dan
Sosio Demokrasi itu boleh dipakai sebagai perisai terhadap tuduhan “war
criminal” dan sebagai selimut untuk kerjasama dengan
kapitalisme-imperialisme Belanda, ialah tengkulaknya
kapitalisme-imperialisme Amerika-Inggris.
Berhubung dengan amat longgarnya cara Ir.Soekarno menafsirkan suatu
paham itu, maka tak pastilah saya ini dalam menentukan apakah sikap Ir
Soekarno yang sebenarnya terhadao paham dan diri saya sendiri,
walaupun di masa lampau kelihatan masih serba baik.
Buat sekadarnya membuktikan kerja itu di zaman lampau, ialah
sebelumnya tangkapan saya pada tanggal 17 Maret 1946 di Madiun, maka tak
ada salahnya kalau di sini saya mengemukakan beberapa peristiwa yang
barangkali tidak begitu atau samasekali tidak diketahui oleh umum.
Sebermula, maka kebetulan saja, saya dalam tahanan di Mojokerto (13
Juli 1946 sampai 29 Januari 1947) saya terpandang satu buku yang
berjudul “Indisch Schrift v/h Recht”. Dalam buku itu tercantum Ir
Soekarno pada Landraad Bandung, 22 Desember 1931.
Hampir setengahnya laporan proses itu yang menutupi lebih kurang 60
muka, mengambil bagian yang memperhubungkan aksi Ir Soekarno di masa
PNI dengan saya sendiri, ialah dengan perantara buku Masa Aksi yang saya tulis tergesa-gesa di Singapura pada pertengahan 1926. Buku Masa Aksi
itu sekarang sudah diterjemahkan dari bahasa Belanda ke dalam Bahasa
Indonesia dan sudah disiarkan pada tahun lampau. Karena buku itu di
masa Hindia Belanda cuma jatuh kepada beberapa pemimpin yang
berpengaruh besar saja, dijatuhkan secara rahasia sekali dan karena isi
buku itu pula yang pertama kali diperingatkan Presiden Soekarno kepada
saya pada pertemuan bermula, maka baiklah saya turunkan di sini catatan
dari beberapa pemeriksaan itu.
Beberapa kalimat disalin ke Bahasa Indonesia. Bunyinya sebagai berikut:
‘Landraad di Bandung ketua Mr.Siegenbeek v. Heukelen vonis 22
Desember 1931. Raad van justitie di Jakarta Mr.E.H de.Graag,dll. Vonis
17 April 1931
Perkara terhadap para pemimpin PNI menurut artikel 153 bis dan 169
dari Weboek v.strafrecht. pada halaman 609 tertulis: Dalam Indische
Tijdschrift v/h Recht Ir Soekarno, R.Gatot Mangkuprajo, Mas Kun,
Supriadinata
Semenjak berdirinya PNI sampai tanggal 29 Desember 1929, yakni selama
tahun tersebut teristimewa pada petengahan kedua tahun itu, di Bandung
dan tempat lain-lain, ialah di Jawa dengan memimpin atau berbicara pada
rapat umum kursus dan propaganda tertutup. Demikian pula dengan jalan
memberikan pimpinan kepada dan memajukan massa aksinya partai mereka
mengambil bagian dalam PNI dengan pengetahuan tentang tujuan partai.
Maksud terakhir dari PNI dengan tegas dituliskan dalam
statute..keterangan azas sebagai syarat yang pertama disebutkan’
kemerdekaan poitik, yakni berhentinya pemerintahanan Belanda di atas
Indonesia itu.
“Sebagai alat yang paling baik Massa Aksi yang teraturlah yang dikemukakan.”
“Landraad menganggap penting sekali brosur Massa Aksi in Indonesie,
terdapat pada produk FN ditulis oleh Tan Malaka, pemimpin komunis yang
pada waktu itu berada di Singapura.” Pada halaman 639 Tidjs. v/h Rehct
tertulis a.l:
“Menimbang bahwa produk AX juga menunjukan, memperbaiki, masyarakat
oleh Murba (massa) dari Murba, untuk Murba perkataan mana satu persatu
terdapat brosur Tan Malaka halaman 73..”
Menimbang bahwa thesis tentang pembagian imperialism atas corak dalam
produk O (yang menurut saksi Kamaruddin dalam pemeriksaan adalah diktat
pada kursus kepada calon anggota partai) yang juga terdapat dalam
produk Bu; satu tulisan dari Inu Perbatasari, pemimpin kursus, disalin
Woordelijk (kata demi kata) dari brosur Tan Malaka tersebut halaman 32
pada halaman 656 TIJDS. v/h RECHT:
“…………..Bahwa (menurut terdakwa Pen!) nasionale daad (perbuatan nasional) disebutkan akan berakhir tahun 1930.”
“………….sedangkan dengan sedikit perubahan istilah (sedikit perubahan
itu adalah atas tanggungannya jaksa Belanda semata-mata,Pen!) Tan
Malaka dalam produk FN mengemukakan bahwa salah satu syarat untuk
menimbulkan pemberontakan bersenjata terhadap pemerintahan Hindia
Belanda ialah bahwa pimpinan dari Massa Aksi harus senantiasa sanggup
membentuk tuntutan dan semboyan yang baru dan bersemangat sehingga
kemauan Murba suatu saat bertukar menjadi perbuatan Murba.
Pada halaman 659 TIJDS v/h RECHT:
“………….Menimbang penolakan yang menyatakan bahwa yang menyebabkan
timbulnya pemberontakan yang kecil-kecil dan tidak teratur tiadalah
member jaminan bagi jayanya revolusi, sudah terdapat pada surat kode
Tan Malaka dan Subakat dalam produk V, kepada para pemimpin komunis di
negeri ini dari sudut mana berhubungan dengan produk LL, sama sekali
tidak terbukti, seperti yang hendak dikemukakan oleh Pembelaan, bahwa
PNI yakni para pemimpinnya tidak menghendaki pemberontakan bersenjata
terhadap pemerintah, tetapi lebih tepat bahwa (PNI) menolak Putsch,
revolusi yang tiada teratur sebagai siasat untuk mencapai maksudnya
pengesahan yang pasti tantangan kesimpulan itu terdapat dalam uraian
Tan Malaka sendiri dalam Brosur Produk FN, dimana penolakan yang pasti
terhadap Putsch, sebagai siasat untuk mencapai tujuan nasional, ialah
kemerdekaan juga diberi alas an penuh oleh PNI menurut produk FO dan OO
dengan mempertentangkan Putsch yang tiada sempurna itu dengan Massa
Aksi yang teratur sebagai alat efissient (sempurna) untuk mencapai
maksud terakhir ialah kemerdekaan Indonesia sepanjang revolusi
bersenjata.”
Pada halaman 660 tertulis:
“Putsch ialah hasil pekerjaan dua orang berputus asa, sedangkan
revolusi adalah hasilnya suatu gerakan masyarakat. Satu revolusi
seperti di Prancis dan Rusia timbul, setelah rakyat Murba disebabkan
oleh suatu kejadian menunjukkan kemarahan serta kemurkaannya dengan
protes pada rapat umum dan demostrasi yang disetujui oleh seluruh
rakyat yang tak lain melainkan Murba yang diorganisir.”
Catatan di atas bukan dimaksud untuk membenarkan tuduhan jaksa Hindia
Belanda terhadap Ir Soekarno. Juga bukan membenarkan tafsiran jaksa dan
PID Hindia Belanda tentang massa aksi tetapi atas catatan di atas oleh
pihak ke tiga dapat diambil sekedarnya kesimpulan bahwa PNI dan
Soekarno setuju dengan Massa Aksi sebagai alat yang paling baik untuk
mencapai kemerdekaan politik. Dikatakan pula baik dalam rapat umum
maupun dalam rapat terbuka dan dalam kursus partai, maka buku massa
aksi banyak dipergunakan.
Rupanya tuduhan pengadilan di masa Hindia Belanda yang berkenaan
dengan Massa Aksi itu tak seberapa jauhnya daripada kebenaran.
Sesudahnya saya membaca laporan tentang proses Ir Soekarno cs dalam
TIJDS v/h RECHT tersebut di Mojokerto, maka hal ini saja contohnya pula
dengan keterangan beberapa pemimpin yang rapat perhubungannya dengan
Ir Soekarno di masa lampau. Keterangan Hindia Belanda itu tentang
perhubungan Ir Soekarno dengan buku Massa Aksi itu sama sekali
dibenarkan. Malah ditambahi pula dengan keterangan bahwa bukan PNI dan
Ir.Soekarno saja, tetapi ada lagi partai-partai lain dan para pemimpin
lain yang mempergunakan brosur massa aksi dalam gerakan kemerdekaan
sebagai petunjuk.
Perkataan yang pertama kali diucapkan oleh Presiden Soekarno pada
permulaan 1945 di rumah DR.Soeharto di mana saya pertama kali berkenalan
dengan Presiden Soekarno dengan perantara Saudara Sajuti Melik atas
nama yang sebenarnya setelah 3 ½ saya bersembunyi di Indonesia. Kempei
perkataan itu ialah “…dalam buku Massa Aksi rupanya Saudara (Tan
Malaka) anggap sifatnya imperialism Inggris berada di antara
imperialisme Belanda dan Amerika!”
Inilah perkataan yang pertama yang diucapkan oleh Presiden Soekarno
dalam pertemuan yang sangat kami rahasiakan itu, karena Jepang masih
bersenjata lengkap di Indonesia, yang sudah 20 minggu lebih
memproklamirkan kemerdekaannya.
Baik juga saya ulangi di sini, bahwa pada permulaan September 1945
itulah Ir.Soekarno dan saya berkenalan nama dengan nama. Muka dengan
muka seperti yang sudah saya ceritakan di lain tempat, sudah bertemu di
Bayah satu tahun sebelumnya ketika saya menghidangkan minum kepada
Gitjo Soekarno. Meskipun saya di Bajah itu belum puas dengan jawaban
Soekarno atas pertanyaan saya (Husein) tentang kemerdekaan Indonesia
dan amat kecewa denga PUTERA dan HOKOKAI yang berturut-turut
dibangunkan dan dibubarkan, kecewa dengan panitia Penyeliidik dan
Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Pada Soekarno saya masih memusatkan
perhatian. Di masa Jepang berapa kali saya berniat melangkahkan kaki ke
rumah Soekarno di Pegangsaan Timur No.56, tetapi terhambat karena
adanya Jepang itu! Saya yakin akan diterima oleh Ir.Soekarno, tetapi
sebaliknya yakin pula tidak akan lepas dari cengkraman kenpei Jepang.
Pada akhir percakapan yang tiada disaksikan oleh DR.Soeharto, tuan
rumah sendiri, tetapi disaksikan oleh saudara Sajuti Melik, Presiden
Soekarno sambil menunjuk berkata kepada saya lebih kurang sebagai
berikut:
“Kalau saya tiada berdaya lagi, maka kelak pimpinan revolusioner, akan saya serahkan kepada saudara.”
Kami berpisah dengan sedikit sokongan uang dari Presiden Soekarno kepada saya.
Yang kedua kalinya tiada lama sesudah itu dengan perantara Sdr. Sajuti
Melik juga. Saya berjumpa dengan Presiden Soekarno di rumah Dr.Muwardi
(Banteng) juga dalam keadaan rahasia.
Sekali Presiden Soekarno menganjurkan bahwa nanti pimpinan revolusi
akan diserahkan kepada saya, sambil memberi sokongan uang pula.
Bagi saya di masa itu, perkara saya menerima hak pimpinan revolusi,
atau haknya Presiden Soekarno menyerahkan pimpinan revolusi itu kepada
saya, sebenarnya sekejap pun tidak mempengaruhi perasaan, paham dan
sikap memberikan sambutan terhadap usul Presiden Soekarno. Saya sudah
amat gembira bertemu muka dengan Presiden Republik Indonesia: Republik
yang sudah lama saya idamkan yang presidennya adalah putra Indonesia
sejati pula. Usul pemimpin revolusi tadi saya anggap sebagai satu
kehormatan saja dan sebagai tanda suatu kepercayaan dan penghargaan
Bung Karno kepada saya belaka. Teristimewa pula sebagai suatu tanda
yang nyata, bahwa di masa lampau benar ada satu ikatan jiwa dan paham
antara Bung Karno dan saya, walaupun kami hidup berjauhan.
Di belakang harinya sesudah demonstrasi 19 September 1945 di Jakarta
yang saya dengar pula kabar dari pihak para menteri, bahwa dalam satu
sidang presidentil cabinet , Presiden Soekarno berkata bahwa “…kelak
dia akan menyerahkan pimpinan revolusi kepada salah seorang yang mahir
dalam gerakan revolusioner.” Namanya itu belum disebutkan tetapi akan
diumumkan dalam satu rapat tertutup.
Peristiwa penyerahan pimpinan revolusi itu saya bicarakan dengan
Mr.Soebarjo yang pada saat itu menjabat Menteri Luar Negeri. Mr.Soebarjo
saya kenal baik ketika di Nederland pada tahun 1922 dan saya jumpai di
Jakarta pada 25 Agustus 1945 ialah seminggu lamanya setelah proklamasi
kemerdekaa dan setelah seminggu lamanya saya sia-sia menjumpai kembali
Soekarni cs dan Chaerul Shaleh cs. Mr.Soebarjo menganggap usul
penyerahan pimpinan revolusi kepada saya sebagai usul yang penting
juga. Desas-desus sudah terdengar di kiri-kanan bahwa Presiden Soekarno
akan ditangkap oleh Inggris dan akan dituduh sebagai “war criminal”
(penjahat perang) karena dianggap oleh sekutu sebagai membantu Jepang
ialah musuhnya sekutu dalam perang dunia ke dua. Berhubung dengan
kemungkinan penangkapan itu diperkuat pula oleh aksinya murba Jakarta
pada tanggal 19 September yang tiada disetujui oleh Presiden Soekarno
rupanya bertambah merasa perlu mengadakan payung sebelum hujan ialah
mempersiapkan surat warisan mengenai pimpinan revolusi.
Kelihatan benar pada saya bahwa Mr.Soebarjo, Menteri Urusan Luar Negeri amat setuju dengan usul tadi.
Setelah keadaan di Jakarta mendesak karena Inggris hendak mendarat
dan saya terpaksa meninggalkan Jakarta (keterangan lebih lanjut akan
menyusul di belakang) maka Mr.Soebarjo berusaha dan berhasil
mendapatkan surat warisan.
Yang terpenting dari surat warisan itu ialah bahwa kalau tiada
berdaya lagi, maka mereka, Soekarno-Hatta akan menyerahkan pimpinan
revolusi itu kepada Tan Malaka, Sjahrir, Iwa Kusumasumantri dan
Wongsonegoro. Surat warisan itu ditandatangani oleh Presiden Soekarno
dan Wakil Presiden Moh.Hatta pada tanggal 1 Oktober 1945.
Mulanya yang mau menandatangani cuma Presiden Soekarno dan surat
warisan itu akan diberikan kepada saya sendiri saja. Tetapi karena
desakan Moh.Hatta (menurut Soebarjo), maka Wakil Presiden Moh.Hatta
ikut menandatangani dan menambah tiga orang lainnya untuk mewarisi.
Karena saya anggap perlu mengorganisir murba di luar kota Jakarta,
sebab saya pandang Jakarta sudah terancam dan saya belum dapat
berhubungan dengan para pemuda Jakarta dan sama sekali belum tahu
adanya Markas Benteng 31, maka dengan surat warisan yang ditandatangani
oleh Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Moh.Hatta di dalam tas pada
tanggal 1 Oktober 1945 saya meninggalkan Jakarta sampai sekarang (17
Februari 1946).
Demikian perhubungan paham diri dengan Ir.Soekarno dengan saya
semenjak berdirinya PNI pada tanggal 4 Juli 1927 sampai satu setengah
bulan berdirinya Republik Indonesia ialah 1 Oktober 1945.
Baik juga saya sebutkan di sini bahwa pada saat meninggalkan Jakarta
dan membawa surat warisan yang ditandatangi oleh Presiden Soekarno dan
Wakil Presiden Moh.Hatta itu, tercamtuhlah di hati saya: kalau kelak
Massa Aksi terhadap Inggris dan Belanda berhasil, maka gugurlah tuduhan
“war criminals” tuduhan penjahat perang itu kepada Soekarno Hatta. Dan
kalau Massa Aksi gagal, maka seluruh rakyatlah yang akan menanggung
jawaban tuduhan “war criminals” ditambah “revolutionary –criminals”,
tuduhan penjahat perang ditambah tuduhan penjahat revolusi. Tegasnya
saya mengharapkan Soekarno-Hatta sehidup semati dengan rakyat/pemuda
Indonesia.
Ringkasnya, pada nasib seluruhnya murba beraksi dan aksi murba lah
saya anggap tergantungnya nasib para pemimpin Soekarno-Hatta.